Powered By Blogger

Senin, 12 Desember 2011

TINJAUAN KEWNANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERKARA PIDANA


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Kejaksaan republic Indonesia sbg lembaga penuntutan tertinggi dibidang memepunyai peran utama dalam penegakan hokum mempunyai peran utama dalam penegakan supermasi hukum dan mewujudkan keadilan bagi seluruh bangsa dinegara ini. Sebagi lembaga pemerintah yang melakukan kekuasaan Negara dibidang penuntutan dan sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, peran kejaksaan gardu depan penegakan hukum demikian penting dan sterategis.
Kejak saan sebagai salah satu sub system peradilan pidana memiliki kewnangan dibidang penuntutan dan memegang peranan yang konsepsial dalam penegakan hukum sebagai intasi peradilan, maka kewenagan hukum dapat langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Oleh karena itu peranan kejaksaan sebagi salah stu ujing tombak dalam dalam penegakan hukum diharapkan dapat menjunjung tinggi nilai- nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat yaitu dalam hal ini melakukan upaya hukum peninjauan kembali  terhadap suatu putusa pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap agar korban yang diwakilkan oleh jaksa itu mendapat keadilan dari suatu hukum tersebut.
Pasal 31 UU No. 16 tahun 2004 menegaskan bahwa kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan sesorang terdakwa dirumah sakit atau tempat perawatan jiwa  atau tempat yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau diri nya sendiri bahwa dengan melaksanakan tugas dan wewenag kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegakan hukum dan keadilan serta badan Negara atau intasi lainya. Dan juga kejaksaan dapat memberi pertimbangan dalam bidang hukum kepada intasi lainya.
Upaya hukum yaitu hak terdakwa atau penuntut umum tidak menerima putusan pengadilan. Dalam kitab undang-undang hukum acara pidana diatur dalam BAB XVII yitu upaya hukum biasa dan BAB XVII upaya hukum luar biasa yang pada waktu berlakunya HIR diataur diluar HIR. Tentang upaya hukum bias diatur BAB XVII dimana bagian kesatu mengenai pemeriksaan tngkat banding, bagian kedua mengenai pemeriksaan tingkat kasasi, dalam BAB XVII upaya hukum luar biasa meliputi bagian kesatu mengenai pemeriksaan tingakat kasasi demi kepentingan hukum. Bagian kedua yaiu mengenai peninjun kembali putusan pengadilan yang telah mempunyaikekuatan hukum tetap.

B.     Rumusan masalah
Ø  Apakah jaksa penuntut umum berwenang untuk melakukan peninjauan kembali yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ø  Apakah alasan jaksa penuntut umum untuk mengajukan peninjauan kembali
BAB II
PEMBAHASAN
TINJAUAN KEWNANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM
MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI DALAM
PERKARA PIDANA
A.    Sebab - sebab atau Latar Belakang Lahirnya Putusan Peninjauan Kembali.
Lahirnya BAB XVII ini dalam upaya hukum luar biasa khususnya bagian kedua tentang peninjauan kembali yang terdapat dalam pasal 263 sampai dengan pasal 269 KUHAO yaitu merupakan sejarah baru dilapangan hukum khususnya hukum acara pidana.. sebab ini merupakan suatau kenyataan bahwa seorang terpidana merasa bhwa hukum yang dijatuhkan kepadanya tidak adil kemudian ingin meminta kembali pemeriksaan perkaranya tersebut dan ini tidak mungkin karena jalan atau acara formal untuk meminta perkaranya yang telah putus untuk diperiksa kembali tidak mungkin karena upaya hukum untuk itu tidak ada lagi.[1]
Maka kini dengan adanya upaya hukum peninjauan kembali ini, maka terbentuk lah jalan bagi setiap terpidana untuk meminta pemeriksaan ulang atas setiap terpidana untuk meminta pemeriksaan ulang atas perkaranya, ini muncul bukan dengan tiba-tiba tetapi terjadi pada tahun 1980 yang mana terkenal dengan kasus sang sengkon dan karta. Dua terpidana yang telah menjalani hukumannya sejak tahun 1977 tetapi sudah ditahn sejak tahun 1974. Kasus tersebut yaitu sengkon dan karta ditahan dan diperiksa oleh pengadilan negeri bekasi dengan tuduhan telah merampok dan membunuh suami isteri salem berdasar alat bukti. Yang telah dianggap sah oleh pengadilan negeri bekasi keduanya dijatuhkan hukuman masing-masing 10 tahun dan dari 7 bulan penjara.
Jelas disini telah terjadi kesalahan didalam penjatuhan putusan terhadap sengkon dan karta. Para aparat hukum juga tidak menjadi tenang dengan adanya kasus ini, dan para ahli hukum juga mencari suatu modus yang terdapat agar sengkon dan karta dapat dibebaskan dari lembaga permasyarakatan. Jika dilihat kasus sengkon dan karta ini bukanlah terjadi kesalahan tuduhan terhadap orang yang melakukan pembunuhan atas sulaiman suami istri tetapi juga telah terjadi kesalahan ysng dilakukan oleh pengadilan negeri.
Pengadilan bekasi jelas mengetahui bahwa sengkon dan karta tidak bersalah  sewktu menjatuhkan putusan terhadap gunel cs maka seharusnya pada putusan yang sama didalam pengadilan negeri bekasi memutuskan juga pembatalan atas putusan terdahulu yang dikenakan terhadap sengkon dan karta. Maka dengan seketika itu juga pada saat yang sama sengkon dan darta bebas dari pidana yang telah dijatuhkan terhadapnya.
Peryataan ini juga telah dikatakan oleh ketua makamah agung terdahulu yang mengatakan apabila ini dilakukan oleh pengadilan negeri bekasi maka ini telah terjadi suatu revolusi dalam hukum Indonesia dan ini tidak terjadi dan pengadilan negeri bekasi hanya menyatakan bahwa tuduhan terhadap sengkon dan karta tidak terbukti. Makamah agung membatalkan putusan dalam sidang majelis makamah agung tertanggal 31 januari 1981.[2]
Lembaga herziening ini dalam hukum diartikan sebagai suatu upya hukum yang mengatur tentang tata cara untuk melakukan peninjauan kembali suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Mengingat sangat dibutuhkannya lembaga heizening tersebut dapat diberlakukan. Upaya tersebut dapa terlihat ketika lahirnya PARMA No. 1 tahun 1969 yang menetapkan tentang peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetep
Pencabutan PARMA No 1 tahun 1969 ini didasarkan pada endapat bahwa pada tahun 1970 dikeluarkan Undang-undang No 14 tahun 1970 yaitu undang-undang pokok kekuasaan kehakiman. Dimana dalam pasal 21 telah terdapat pasal-pasal.
Diberlakunya KUHAP ( undang-undang no 8 tahun 1981 ) yang menampung lembaga peninjauan kembali dan sekaligus mencabut PARMA No 1tahun 1980 maka harus demi kasus yang dimintakan peninjauan kembali dan diselesaikn oleh makamah agung telah memperhatikan suatu benag merah dalam kaitannya dengan pencari keadilan.[3]
Pengajuan peninjauan kembali yang dilakukan oleh jaksa, korban keluarga,  korban, pihak ketiga yang berkepentingan masih  menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi dasar hukum bagi mereka yang mengajukan upaya hukum tersebut karena hak untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali berdasarkan Undang-undang No 8 tahun 1981 tentang KUHAP hanya memiliki oleh terpidana atau ahli waris.
Peraktek peninjauan kembali melangkah jauh seakan meninggalakan tujuan yang hakiki, itulah yang terjadi dalam peraktek yaitu pengajuan peninjaun kembali oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan bebas. Peraktek penerapan ketentuan tentang peninjauan kembali dikaji secara mendalam dari sudut ilmu hukum pidana dengan pertimbangan 2 faktor yakni.[4]
1.      Dilihat dari sudut pengaturan hukum acara pidan yang ada terutama KUHAP yang diatur dalam Undang-undang No. 8 tahun 1981 tidak memberikan kesempatan mengajukan peninjauan kembali bagi jaksa penuntut umum atau piahk koraban dirasakan tidak memungkinkan.
2.      Munculnya kasus – kasus peninjauan kembali yang secara juresprudensial secara tidak langsung mengajukan peninjauan kembali atas berbagai kasus yang diputuskan secara bebas atau setiap putusan yang oleh kejaksaan atau pihak korban dirasakan tidak memuaskan.
Pengaturan dalam hukum positif sebenar nya sudah tersirat didalam pasal 263 ayat 3 KUHAP yang mana didalamnya disebutkan bahwa terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap telah memperolehkan kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaaan peninjaun kembali apabila dalam suatu putusan itu pemberatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetap tidak diikuti oleh suatu pemindanaan. Sedangkan dalam pasall 263 ayat 1 KUHAP yang diperbolehkan mengajukan peninjauan kembali yaitu terpidana kecuali terhadap putusan bebas lepas dari segala tuntutan hukum.
Mengenai orang yang berhak mengajukan peninjauan kembali ditegaskan dalam pasal 263 ayat 1 yakni terpidana atau ahliwarisnya. Berdasar kan ketentuan ini jaksa penuntut umum tidak berhak mengajukan peninjauan kembali sebaba undang – undang tidak memberikan hak kepada penuntut umum karena upaya hukum ini hanya untuk melindungi kepentingan terpidana.
Upaya kepentingan terpidana UU membuka kemungkinan untuk mengajukan kembali keputusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap , karena itu akan diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya, lagi pila sisi lain dari upaya hukum agar luar biasa ini yakni pada  upaya kasasi demi kepentingan hukum. Undang – undang telah membuka kesempatan kepada jaksa agung untuk membela kepentingan umum. Seandainya penuntut umum berpendapat suatu putusan pengadian yang telah berkekuatan hukum tetap merugikan kepentingan umum atau bertentangan  tujuan penegakan hukum,kebenaran dan keadilan. 
B.     Kewnangan Jaksa Penuntut Umum
Fungsi dan kewenangan jaksa dalam KUHP pasal 1 angka 6 huruf a ditetapkan hanya meliputi dan bertindak sebagai penuntut umum dan melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. KUHP merumuskan demikian karena berkaitan dengan rangkaian ketentuan-ketentuan lainnya dalam KUHAP.
Sesuai dengan ketentuan pasal 289 ayat 2 KUHP jo pasal 17 pp No. 27 tahun 1983 jaksa bahwa untuk melakukan penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana seperti dalam tindak pidana korupsi dan dalam tindak pidana subversi dan dalam tindak pidana ekonomi. Ketentuan pasal 14 KUHP yang menyatakan penuntut umum mempunyai wewenang yaitu:
a.       Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan penyidik dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat 3 dan 4, dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnakan penyidikkan dan penyidik.
b.      Memberikan perpanjangan penahanan, melaksanakan penambahan atau penahanan lanjutan atau mengubah setatus tahanan setelah perkara dilimpahkan oleh penyidik.
c.       Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidik dari penyidik atau penyidik pembantu.
d.      Membuat surat dakwaan.
e.       Melimpah perkara kepengadilan.
f.       Melakukan penuntutan.
g.      Menutup perkara demi kepentingan hukum
h.      Melaksanakan penetapan hakim.
i.        Menyampaikan pemberitahun kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara yang disidang kan serta dengan surat pemangilan, baik terahadap terdakwa maupaun kepada saksi untuk dating pada siding yang telah ditentukan.
j.        Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tangung jawabnya sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang.[5]
Disamping tugas dan wewenag kejaksaan tersebut yang berdasar kan undang – undang, kejaksaan dapat disertai tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Mencermati tugas dan wewenang teryata kewenangan melakukan pengawasan keputusan lepas bersarat diabaikan oleh pembentuk undang-undang No 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Untuk itu, dalam penyusunan peraturan pemerintah sebagai pelaksannan undang-undang kemasyarakatan maka kewenangan kejaksaan perlu diangkat kembali, dengan demikian tidak ada kesan saling bertentangan atau tumpank tindih, hal itu perlu diperhatikan pula dalam penyusunan RUU KUHAP baru sebagai ius constituendum.
Dalam rangka penetapan tugas dan fungsi kejaksaan dan sekaligus dalam rangka menemukan kebenaran materil,kiranya pemeriksaan tambahan lebih diefektifkan dan didaya gunakan.
Undang- undang No 5 tahun 1991 pasal 28 menetapkan bahwa kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa dirumah sakit atau tempat perawatan jika atau tempat lain yang layak karena bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau diri sendiri.
Sementara itu, pasal 29 undang-undang No 5 tahun 1991 tersebut menetapkan bahwa disamping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang selanjutnya, pasal 30 undang-undang No5 tahun 1991 menegaskan bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenang kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan-badan Negara atau intasi lainya. Kemudian pasal 31 mengatur bahwa kejaksaan dapat member pertimbangan dalam bidang hukum kepada intansi pemerintah lainnya.
Mengenai tugas dan wewenang jaksa agung diatur dalam beberapa pasal dibawah ini pasal 32 undang-undang No.5 tahun 1991 mengatur bahwa kjaksa agung mempunyai tugas dan wewenang :
1.      Menetapkan serat mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan.
2.      Mengkoordinasikan penanganan pekara pidana tertentu dengan institusi terkait berdasarkan undang-undang yang pelaksanaan koordinasinya ditetapkan oleh presiden.
3.      Mengenyampinkan perkara dari kepentingan umum
4.      Mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada makamah agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana.
5.      Mencegah dan  menyangkal orang tertentu untukmasuk atau keluar wilayah kekuasaan negeri RI karena telah keterlibatan dalam perkara pidan sesuai peraturan perundang-uandangan.
Kemudian pasal 33 menegaskan bahwa :
1.      Jaksa agung member ijin kepada tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalankan perawatan dirumah sakit dalam negeri, maupun luar negeri.
2.      Ijin secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan didalam negeri diberikan oleh kepala kejaksaan negeri setempat atas nama jasa agung, sedangkan untuk berobat atau menjalani rumah sakit diluar negeri hanya diberikan oleh jaksa agung.
3.      Izin sebagai mana dimaksud dalam ayat 1 dan 2 hanya diberikan ataa dasar rekomendasi doctor, dan dalam hal diperlukannya perawatan diluar negeri rekomendasi tersebut dengan jelas menyataakan kebutuhan itu yang dikaitkan dengan belum melengkapinya fasilitas perawatan tersebut didalam negeri.[6]
C.    Korban yang Diwakili Jaksa.
Jaksa penuntut umum sebagai lembaga yang mewakili korban dalam tuntutan pidanaya lbih banya meruguan penderitaan korban akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelakunya. Dengan tolak ukur tersebut, pengajuan tuntutan pidana hendaknya harus didasarkan pada keadilan yang ditinjau dari kaca mata korban. Dengan demikin jaksa penuntut umum menuntut hukuman yang relative tinggi. Sedangkan terdakwa atau penasehat hukumnya berhak memohon hukuman yang seringan-ringannya. Bahkan kalau memungkinkan mohon agar terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan jaksa penuntut umum. Putusan hakim berupa pemindanaan sebagaimana dikatakan nawawi arif symposium pembahruan hukum pidana nasional 1980, yaitu sebagai berikut ;
a.       Kemanusiaan dalam arti bahwa persidangan tersebut menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang.
b.      Edukatif dalam arti bahwa pemindanan itu mempu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penagulanggan kejahatan.
c.       Keadilan,dalam arti bahwa pemindanaan tersebut dirasakan adil, baik, oleh terhukum, korban maupun masyarakat.
Pembatasan ketentuan yang terdapat dalam pasal 100 ayat 2 KUHAP, perlindungan terhadap korban melalui ketentuan pasal 99 ayat 1 KUHAP teryata relative kurang sempurna. Untuk memeriksa harus bermuara pada hukum acara perdata. Terlbih khususnya kewenangan bersifat absolute yang harus diajuan kepada pengadilan negeri dijamin tergugat bertempat tinggal.
Terdakwa yang diadili perkara pidana disidang diwilayah tempat tinggal atau tempat kediamannya,  tentu pengadilan negeri tersebut tidak akan memeriksa dan tidak akan mengadilinyakarana salah satu asas dalam hukum pidan menyatakan bahwa terdakwa akan diadili dimana perbuatan tersebut dilakukan,oleh korban. Diperlukan adanya penyempurnaan dalam KUHAP itu sendiri dengan memberikan peran lebih besarbkepada korban dalam mengajukan upaya hukum banding.
Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang dinyatakan terbukti namun tidak diakui pemindanaan. Maka disinilah celah bagi jaksa penuntut umum untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Upaya hukum peninjauan kembali sebagai mana dimaksud dalam pasal 263 ayat 3 KUHAP ini  tidak memungkinkan terpidana mengajukan upaya hukum peninjauan kembali terhadap suatu putusan bebas yang mana ini akan merugikan bagi dia untuk mengajukan upaya hukum penijauan kembali dalam konteks putusan pengadilan, yang memeutus peninjauan kembali adalah disini hakim, bukan jaksa.[7]
D.    Alasan yang Digunakan JPU Melakukan PK Dalam Peraktek Peradilan
1.      Adanya kekhilafan hakim.
Hakim sebagai manusia tidak luput dari kekhilafan dan kekeliruan. Kekhilafan adalah kekeliruan itu bias terjadi  dalam semua tingkat peradilan. Kekhilafan yang dibuat oleh pengadilan negeri sebagai pengadilan tingakat pertama, bias berwujud pada tingkat banding, dan kekhilafan pada tingkat pertama dan tingkat banding itu tidak tampak dalam tingkat kasasi oleh makamah agung, pada hal tujuan tingkat banding maupun tingkat banding maupaun tingkat kasasi untuk meluruskan dan memperbaiki serta membenarkan kembali kekeliruan yang dibuat pengadlan yang lebih rendah.[8]

2.      Novum ( terdapat keadaan baru )
Permintaan peninjauan kembali adalah keadaan baru atau novum. Keadaan baru yang dapat dijadikan landasan yang mendasari permintaan adalah keadaan baru yang mempunyai sifat dan kualitas yang menimbualkan dugaan kuat :
1.      Jika seandainya keadaan baru itu diketahui atau diketemukan dan dikemukakan pada waktu siding berlangsung, dapat menjadi factor dan alas an untuk mengajukan putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
2.      Keadaan baru itu juga, diketemukan dan diketahi pada waktu siding berlangsung dan dapat menjadi alas an dan factor untuk menjatuh kan putusan yang menyatakan tuntutan penuntut umum tdak dapat  diterima.
3.      Dapat dijadikan alas an dan factor untuk menjatuhkan putusan dengan menerapkan ketentuan pidanayang lebih ringan
Alasan novum yang diajukan oleh jaksa yaitu berdasarkan hasil penydikan terhadap perkara atas nama indra setiawan dan rohainil arni ditemukan keadaan baru berupa keterangan saksi, tersangka dan ahli dan dikaitkan dengan fakta-fakta.
3.      Kadadilan dan kepentingan umum
Peninjauan upaya hukum peninjauan kembali oleh jaksa adalah merupakan eksitensi, jaksa penuntut umum dalam peraktek peradilan khususnya mengenai akses mengajukan peninjauan kembali Oemar seno Adji disini mencatat bahwa bagaimana peran jaksa dalam pengadilan, yaitu mengikuti perkmbangan perundang-undangan pidana, yurisprudensi, dan ilmu hukum. Semuanya dapat dilakukan menjadi perkembangan actual hukum pidana, yaitu fungsionalisasi hukum pidana dengan defence sociale nou velle disamping aliran due peroces of law. Berdasarkan peryataan oemar seno adji diatas maka penegasan ini dalam rangka menegaskan proses hukum yang adil bagi semua pihak atau due process of law.
Pengeseran ini didasarkan pada atas filsofis social defence ( perlindungan sisal ). Social defence adalah aliran pemindannan yang berkembang setelah PD II dengan tokoh terkenalnyaadalah fillipu gramatica, yang pada tahun 1945 mendirikan pusat perlindungan masyaraka, dalam perkembangan selanjutnya pandangan scial defence ini terpecah menjadi dua aliran yaitu yang radikal dan aliran yang moderat.
Pandangan yang radikal dipelopri dan dipertahankan oleh f.gromatica dimana  gramatica berpendapat hukum perlindungan social-sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang, tujuan utama dari perlindungan social ini adalah mengintegrasikan individu kedalam tatartib social dan bukan pemindanaan terhadap perbuatanya.
Pandangan moderat dipertahankan oleh marc ancel yang menamakan aliran sebagai ‘’ defence sociale nouvelle’’ atau perlindungan social baru menurut ancel tiap masyarakat adanya tertib social, yaitu seperangkat peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya, maka peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dilakukan dari suatu system hukum.
Beberapa konsep pandangan moderat yitu :
a.       Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-knsepsi perlindungan masyarakat kedalam konserpasi baru hukum pidana.
b.      Perlindungan individu dan masyrakat tergantung pada perumusan yang tepat mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari kehidupan masyarakat itu sendiri.
c.       Dalam mengunakan system hukum pidana, aliran ini menlak pengunaan fiksi-fiksi dan teknis yuridis yang terluas dari kenyataan sisal. Ini merupakan reaksi terhadap aliran legisme dan alran klasik.
Maka berdasarkan konsep due process of law dan defence socialle nouvalli korban dan kepentingan umum untuk diberikan kesempatan untuk mengajukan upaya hukum PK. Dan hal ini sangat penting dalam pembahasan KUHP mendatang.[9]
Maka menurut saya ,sebagai penulis konsep teori duo process of law ini sesuai dengan alasan dari jaksa penuntut umum dalam melakukan peninjauan kembali dalam kasus yang penulis tuliskan. Jaksa dalam mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah dalam peroses penyelesayan perkara pidana. Permintaan peninjauan kembali ini bukan karena kepentingan peribadi jaksa penuntut umum atau lembaga kejaksaan tetapi untuk  kepentingan umum/ Negara.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Didalam KUHAP peninjauan kembali hanya boleh diajukan oleh terpidana atau ahl warisnya terhadap pemutusan pemindanaan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetapi namun sebelum llahirnya peninjauan kembali didalam PARMA No 1 tahun 1980 jaksa diberikewnagan untuk mengajukan peninjauan kembali sebagai mana terdapat dalam pasal 10 ayat 1 PARAM No 1a tahun 1980 yaitu bahwa permohonan  peninjauan kembali didalam suatu putusan pemindanaan yang telah memperoleh kekuatan tetap harus diajukan oleh jaksa agung.
2.      Alasan jaksa yang diajukan oleh jaksa dalam melakukan peninjauan kembali yaitu:
a)      Keadilan dan kepentingan umum
b)      Kesalahan hakim
c)      Novum ( keadaan baru )
B.     Saran
1.      Untuk mencegah ketidak pastian hukum dan sekaligus untuk menjaga asas keadilan dan untuk melindungi kepentingan dan masyarakat atau kepentingan umum, maka sebaiknya kewnangan jaksa penuntut umum untuk mengajukan peninjauna kembali perlu diatur secara jelas dalam perundang-undangan.

DAFTAR PUSTAKA
Harahap yahya M, pembahasan permasalahn dan penerapan KUHAP,
(pemeriksaan sidang pengadilan,banding,kasasi, dan PK ) jarkarta sinar gerafik,2006
Andi hamzah, Kitab undang-undang hukum acara pidana,2007, Rineka
cipta jarkarta
Mulandi, arif nawawi, teori – teori dan kebijakan pidana, bandung alumni,
1996
Soeparman parman, pengantar hak peninjauan kembali dalam perkara
pidana bagi korban kejahatan, bandung PT rafika aditama
Effendi marwan, kejaksaan republic Indonesia posisi dan fungsinya dari
 perspektif hukum, jarkarta gramedia pustaka utama 2005.


[1] Hadari Djehewi tahir, BAB tentang Aeirzening didalam KUHP, (Bandung 1982) hal.5
[2] Ibit hal.8
[3] Parman soeparman, pengetahuan hak peninjauan kembali dalam perkara pidana bagi korban kejahatan
 ( Bandung ) PT. Rafika Aditama 2007 hal 5
[4] Ibid hal. 8
[5] Ibid hal 62
[6] Op cit parman soeparman hal.30
[7] Yahya harahap, pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP 9 ( pemeriksaan siding pengadilan,banding,kasasi dan PK ) jarkarta sinar gerafik,2007
[8] Lihat pasal 1978 ayat 2 KUHP
[9] Mulandi dan banda nawawi arief teoeri-teori dan kebijakan pidana (bandung alumni, 1996 ) hal.35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar